Sejarah Hukum Perkawinan

Sejarah Hukum Perkawinan


Pemerintah di masa pasca kemerdekaan adalah pemerintahan dalam kepemimpinan orde lama, di era orde lama ini keinginan memiliki undang-undang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Beberapa peraturan hukum perkawinan peninggalan pemerintah Kolonial Belanda masih tetap di berlakukan bagi bangsa Indonesia menurut golongannya masing-masing. Hukum perkawinan yang berlaku adalah sebagai berikut :
1.Bagi  orang-orang Indonesia asli berlaku hukum adat.
2.Bagi  orang-orang Indonesia asli beragama islam berlaku hukum perkawinan islam.
3.Bagi  orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI)
4.Bagi  warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab undang-undang Hukum perdata (BW)
5.Bagi  perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR
Karena golongan Kristen dan warga Negara keturunan (Eropa dan Cina) telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan, maka dalam prakteknya jarang dijumpai permasalahan-permasalahan yang sulit dalam perkawinan mereka. Ini berbeda dengan golongan islam yang belum memilik kodifikasi hukum perkawinan. Hukum perkawinan yang di pedomani ummat islam masih tersebar dalam beberapa kitab fikih munakahat karya mujtahid dari Timur Tengah seperti imam Syafi’I misalnya. Pemahaman ummat islam Indonesia terhadap kitab-kitab fikih munakahat tersebut sering tidak seragam, sehingga muncul kasus-kasus perkawinan seperti misalnya, perkawinan anak-anak, kawin paksa, serta penyalah gunaan hak dan talak dan poligami.
Keadaan demikian rupanya mendapat perhatian dari pemerintah Republik Indonesia, sehingga pada tahun 1946 atau tepatnya satu tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang-undang No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah jawa dan Madura, kemudian oleh Pemerintah Darurat RI di Sumatera dinyatakan berlaku juga untuk Sumatera.  Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No : 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No : 22 Tahun 1946 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.  Kemudian pada tahun 1954 melalui Undang-Undang No.32 tahun 1954, UU No. 22 tahun 1946 tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh bangsa Indonesia.
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Oleh karena desakan tersebut akhirnya pemerintah RI, pada akhir tahun 1950 dengan Surat Perintah Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam.  Panitia ini menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Karena keanggotaanya terdiri dari atas orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang di ketuai oleh Tengku Hasan.
Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan Undang-undang Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama dan peraturan-peraturan khusus yang mengatur hal-hal mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia menyampaikan Rancangan Undang-Undang perkawinan umum kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953.  Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha ke arah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :
a.Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.
b.Suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersam dalam bermasyarakat.
c.Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang beraku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat keadilan.
d.Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama.
e.Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam
f.Kedudukan anak sah atau tidak, pengkuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaaan orang tua dan perwalian
Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak dan Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam rapatnya bulan Mei 1953 Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-Undang Perkawinan menurut sistem yang berlaku :
1.Undang-Undang Pokok yang berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama.
2.Undang-undang organik, yang mengatur soal perkawinan menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen Protestan
3.Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu tidak termasuk suatu golongan agama-agama.
Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat rancangan Undang-Undang Perkawinan Umat Islam yang kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada kabinet akhir bulan September 1957 dengan penjelasan masih akan ada amandemen-amandemen menyusul. Tetapi sampai permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun dari pemerintah mengenai soal undang-undang perkawinan itu.
Pemerintah juga selama bertahun-tahun  tidak memberikan tanggapan sampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita parlemen di bawah pimpinan Soemari, mengajukan rancangan rancangan inisiatif terpenting di antaranya, setidak-tidaknya bagi dunia Islam Indonesia sebuah masalah yang menggemparkan bahwa di dalam usul inisiatif itu telah ditetapkan suatu keharusan untuk menjalakan monogami. Pemerintah pada waktu itu sudah memberikan reaksi dengan mengemukakan suatu rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam. Justru dari pihak Islam tradisional terdapat keraguan apakah bagi orang-orang islam diperlukan perkawinan. Bukankah peraturan-peraturan yang sekali telah di berikan Tuhan, sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam syariat diperuntukkan untuk segala zaman dan Negara. Bahan-bahan baru untuk didiskusikan yakni rencana-rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya.
Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober 1959, Rancangan Undang-Undang Soemari ditarik kembali oleh pengajunya, kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah anggota DPR, Rancangan tersebut sepertinya tidak berpeluang untuk dibicarakan. Para anggota Partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami yang dikandung dalam Rancangan tersebut. Sudah barang tentu sebagai sebgai organisasi kaum perempuan memprotes argumentasi yang dipergunakan untuk membenarkan poligami.  Hal tersebutlah sebagai factor internal yang menyebabkan gagalnya RUU tersebut diundangkan. Selain faktor tersebut, ada pula faktor eksternal yang kemudian muncul, yaitu terjadinya perubahan sistem ketatanegaraan RI akibat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sampai pemerintahan orde lama berakhir, undang-undang perkawinan yang di cita-citakan oleh bangsa Indonesia belum juga terbentuk, kendatipun tuntutan untuk segera dibentuk undang-undang perkawinan terus bermunculan, baik yang datang dari pihak pemerintah sendiri maupun yang datang dari organisasi kemasyarakatan.


Pada periode orde baru, dalam masa sidang 1967-1971 Parlemen (DPR-GR) membahas kembali RUU Perkawinan, yaitu :
a.RUU Perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen Agama, yang diajukan kepada DPR-GR bulan Mei 1967.
b.RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman, yang diajukan kepada DPR-GR bulan September 1968.
Pembahasan kedua RUU inipun pada akhirnya mengalami kemacetan, karena fraksi Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang menyangkut hukum agama. Menurut fraksi Katolik dalam pokok-pokok pikirannnya mengenai RUU perkawinan.
RUU perkawinan 1973 itu ternyata mendapat perlawanan dari kalangan Islam. Segenap organisasi dan tokoh Islam yang lama berkecimpung dalam soal-soal yang menyangkut bidang agama, berpendapat bahwa RUU Perkawinan itu bertentangan dengan agama dan karenanya bertentangan pula dengan Pancasila dan UUD 1945. Meskipun pada waktu itu pemerintahan dan DPR belum melakukan pembahasan internal, baik membentuk pansus maupun panja. Menurut Amak FZ, kalau dinilai dari segi komposisi kekuatan fraksi fraksi DPR, dimana fraksi PPP yang merupakan satu-satunya fraksi yang menentang RUU karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Gelombang penolakan dan reaksi terhadap RUU Perkawinan berdatangan dari berbagai komunitas, baik masyarakat, ulama dan pemerintah sendiri. Reaksi yang menjadi sorotan datang dari ketua fraksi PPP KH. Yusuf Hasyim yang telah mencatat berbagai kekeliuran dalam RUU Perkawinan dan bertentangan dengan Hukum Perkawinan, yaitu dalam Negara yang berdasarkan pancasila yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan unsur-unsur keagamaan dan kerohanian.
Apa yang disampaikan KH. Yusuf Hasyim tersebut bukan tanpa alasan, justru penolakan tersebut bersumber dari amanat Presiden RI nomor R.02/P.U/VII/1973 perihal penarikan draf RUU Perkawinan dari DPR yang tujuannya lebih memperhatikan kemaslahatan umat. Sejalan dengan pendapat KH. Yusuf Hasyim, BUYA HAMKA juga menolak tegas draf RUU Perkawinan tersebut yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. HAMKA menilai, pokok ajaran tasyirul Islamy bahwa yang dipelihara dalam syariat itu lima perkara, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Dari 73 Pasal RUU Perkawinan, terdapat sejumlah Pasal yang dinilai bertentangan dengan ajaran agama Islam menurut sebagian Ulama pada masa itu, sebenarnya secara hukum Negara tidak bertentangan mutlak karena masih melihat kemaslahatan umat, antara lain penulis nukilkan pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan yang sekarang menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat Indonesia, pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan berbunyi :
“Perkawinan adalah syah apabila dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini”.
Dalam pandangan para ulama, sahnya perkawinan adalah pada saat akad nikah yang berupa ijab kabul oleh wali mempelai wanita dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh kedua orang saksi, Islam tidak menolak adanya pencatat pernikahan yang fungsinya tidak lebih dari sekedar menuruti kebutuhan administratif pemerintah dan tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Kemudian, yang menarik untuk disimak adalah ketentuan Pasal 49 ayat (1), (2),dan (3) RUU Perkawinan yang berbunyi :
“1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. 2) Anak yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, dapat diakui oleh ayahnya. 3) Anak yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini, dapat disyahkan dengan perkawinan”.
Menyikapi draf RUU Perkawinan inisiatif pemerintah  tersebut, dalam musyarawah para ulama tanggal 24 Rajab 1393 H/22 Agustus 1973 di Denanyar Jombang atas prakarsa KH. M. Bisri Sjanjuri, memutuskan usulan perubahan RUU Perkawinan.
Suatu RUU yang sudah nyata bertentangan dengan hukum Islam apabila tetap dipaksakan juga menjadi undang-undang, resikonya adalah undang-undang tersebut sulit untuk efektif dalam masyarkat yang mayoritas agama islam : sebab, bagi ummat Islam menaati suatu undang-undang yang bertentangan dengan hukum Islam, sama artinya dengan melakukan perbuatan haram.  Selain itu bias dilihat dari segi hukum ketatanegaraan, suatu undang-undang yang bertentangan dengan hukum (agama) Islam, merupakan pengingkaran atas yang jaminan yang telah diberikan oleh UUD 1945 pada Pasal 29, yaitu jaminan bagi bangsa Indonesia untuk menjalankan ajaran agamnya masing-masing, Atas dasar inilah umat Islam menolak perkawinan tersebut.
Penolakan umat Islam atas RUU tersebut, ternyata mendapat perhatian dari pemerintah. Presiden Soeharto sendiri ketika menerima delegasi partai / Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri (Ketua DPP-PPP) dan KH. Masykur (Ketua F-PP), sebagaimana yang diberitakan dalam harian Abadi (26-11-1973), memberikan perhatian terhadap pokok-pokok pikiran kelompok ini. Serangkaian lobbi-lobbi kemudian diselanggarakan oleh penguasa-penguasa tingkat tinggi dengan Fraksi Persatuan Pembangunan bersama-sama fraksi ABRI sebagai realisasi dari pertemuan antara delegasi Fraksi PP tersebut dengan Presiden Soeharto. Sehingga akhirnya dicapailah suatu konsensus antara kedua fraksi tersebut. Konsensus tersebut yang pada pokoknya memuat bahwa semua hukum agama Islam tentang yang telah termuat dalam RUU tersebut tidak akan dikurangi, kemudian sebagai konsekuensinya maka semua peraturan pelaksananya juga tidak akan diubah, tidak hanya itu saja semua hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam RUU
tersebut dihilangkan. Dengan adanya Konsensus tersebut maka draft RUU tersebut mau tidak mau harus diubah dengan mengacu kepada hal-hal yang disepakati dalam Konsensus.
Adanya perubahan terhadap RUU tersebut sebagai pelaksana dari hasil Konsensus diatas, ternyata kurang disukai oleh kelompok Nasrani. Dalam pandangannnya kelompok Nasrani berpendapat bahwa antar hukum Negara  dan hukum agama harus dipisahkan. Atau dengan kata lain kelompok ini tidak menyetujui pentransformasian norma hukum agama menjadi norma perundang-undangan Negara. Pandangan ini sesuai dengan doktrin Gereja, yang menganut paham pemisahan antara urusan agama (gereja) dengan urusan Negara. Urusan Negara diatur oleh hukum Negara dan urusan agama (gereja) diatur oleh hukum agama (gereja).
Setelah mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang masuk dalam panitia kerja maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 tersebut diteruskan dalam Sidang Paripurna DPR-RI, sebagaimana pembicaraan tingkat empat diatas, untuk disahkan menjadi undang-undang. Dalam sidang tersebut semua Fraksi mengemukakan pendapatnya, demikian juga pemerintah yang diwakili menteri Kehakiman memberikan kata akhirnya. Pada hari itu juga RUU Perkawinan disahkan oleh DPR-RI setelah memakan waktu pembahasan tiga bulan lamanya. Pada tanggal 2 januari 1974 diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan . LN Nomor 1 Tahun 1974, tambahan  LN  nomor 3019/1974.
Untuk terlaksananya UU tersebut maka pemerintah mengeluarkan PP no 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari UU tersebut.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel