Ideologi Muhammadiyah
Wednesday, January 30, 2019
Edit
Setiap organisasi tidak dapat dipisahkan dari pendirinya. Demikian pula Muhammadiyah. Ia tidak dapat dipisahkan dari K.H.Ahmad Dahlan dalam mengambil keputusan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912, itu dengan maksud agar gagasan dan pokok-pokok pikiran beliau dapat diwujudkan melalui Persyarikatan yang beliau dirikan itu. Beliau menyadari bahwa gagasan dan pokok-pokok pikiran itu tidak mungkin dapat diwujudkan oleh seorang secara sendiri-sendiri termasuk oleh beliau sendiri, tetapi harus oleh sekelompok orang secara bersama-sama dan bekerja sama. Secara garis besar, pokok-pokok pikiran formal itu dapat dikelompokkan menjadi dua jenis pokok pikiran, yaitu pokok pikiran yang bersifat ideologis dan pokok-pokok pikiran yang bersifat strategis. Pokok-pokok pikiran yang dapat dikategorikan sebagai pokok pikiran yang bersifat ideologis.
Muhammadiyah adalah suatu persyarikatan yang merupakan “Gerakan Islam”. Maksud geraknya ialah, “Da’wah Islam & amar ma'ruf nahi munkar” yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat. Da’wah dan amar ma'ruf nahi munkar pada bidang yang pertama terbagi kepada dua golongan: kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran Islam yang asli murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam.
Dalam keputusan tanwir tentang kristalisasi ideologi dan khittah Muhammadiyah tersebut dinyatakan pokok pokok pikiran yang bersifat subtansi dari ideologi Muhmmadiyah. Termasuk didalamnya mengapa kader harus paham akan ideologi Muhammadiyah dan pandangan muhammadiyah terhadap keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.diharapkan kader Muhammadiyah setelah memahami ideologi Muhammadiyah bisa membedakan dengan ideologi lain sekaligus dapat mengaktualkan diridan memasyarakatkannya baik di dalam maupun ke luar.
Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus memebersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan nafas, yaitu memerangi secara total berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid,sbab semua itu merupakan benalu yang dapat merusak akidah dan ibadah seseorang. Sifat Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebatas pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya, melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, semacam memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunanterhadap fakir miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat Id dan pelaksanaan kurba dan sebagainya. Untuk membedakan antara keduanya maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation). Dalam hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.[1]
Secara etimologis ideologi yang dibentuk dari kata idea, berarti pemikiran, konsep, atau gagasan, dan logoi, logos artinya pengetahuan. Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang keyakinan atau gagasan. Orang yang pertama kali menggunakan istilah ideologi adalah Antoine Destult, seorang filosuf Prancis, sebagai “science of ideas, dimana di dalamnya ideologi dijabarkan sebagai sejumlah program yang diharapkan membawa perubahan institusional dalam suatu masyarakat”. Dalam aplikasinya ada beberapa tokoh yang memandang ideologi secara negative. Namun sesungguhnya istilah ideologi itu bersifat netral, tidak memihak kemanapun.[2]
Adapun pengertian Ideologi menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
Istilah ideology pertama kali dikemukakan oleh destut de Tracy tahun 1796 yang berarti suatu program yang diharapkan dapat membawa suatu perubahan institusional dalam masyarakat Perancis.
Ajaran atau ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan menyeluruh membahas mengenai gagasan, cara-cara, angan-angan (baca: cita-cita–Penulis) atau gambaran dalam pikiran, untuk mendapatkan keyakinan mengenai hidup dan kehidupan yang benar dan tepat; berarti pula keyakinan hidup.
Membangun komitmen idealisme untuk menjalankan misi dan cita-cita gerakan
Ideologi gerakan Muhammadiyah merupakan tali pengikat gerakan yang diwujudkan dalam sistem organisasi, jama’ah, kepemimpinan, dan gerakan amal usaha untuk menjadikan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di muka bumi ini.[3]
Ideologi-ideologi yang berbasis agama memiliki akar pada teologi dari agama-agama yang bersangkutan. Di lingkungan umat Islam dikenal ideologi Islam, yang memiliki keterkaitan dengan karakter Islam sebagai agama. Ideologi Islam berbeda dengan Marxisme, Sosialisme dan Kapitalisme, maupun Ideologi lainnya yang tidak memiliki basis teologis. Pandangan tentang kebebasan, pesaudaraan, kesamaan, kemanusiaan dan relasi-relasi social dalam Ideologi Islam memiliki basis pada pandangan filosofis tentang teologi Islam, sehingga memiliki pijakan yang kokoh.
Aqidah Islam menurut Muhamadiyah dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari gerakannya. Formulasi aqidah yang dirumuskan dengan merujuk langsung kepada suber utama ajaran Islam itu disebut ‘aqidah shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan pemikiran teologis. Karakteristik aqidah Muhammadiyah itu secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut: nash sebagai dasar rujukan. Semangat kembali kepada Alquran dan Sunnah sebenarnya sudah menjadi tema umum pada setiap gerakan pembaharuan. Karena diyakini sepenuhnya bahwa hanya dengan berpedoman pada kedua sumber utama itulah ajaran Islam dapat hidup dan berkembang secara dinamis. Muhammadiyah juga menjadikan hal ini sebagai tema sentral gerakannya, lebih-lebih dalam masalah ‘aqidah, seperti dinyatakan: “Inilah pokok-pokok aqidah yang benar itu, yang terdapat dalam Alquran dan dikuatkan dengan pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir. “Berdasarkan pernyataan di atas, jelaslah bahwa sumber aqidah Muhammadiyah adalah alquran dan Sunnah yang dikuatkan dengan berita-berita yang mutawatir”. Ketentuan ini juga dijelaskan lagi dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai berikut: (5) Di dalam masalah aqidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir, (6) Dalil-dalil umum Alquran dapat ditakhsis dengan hadits ahad, kecuali dalam bidang aqidah, (16) dalam memahami nash, makna zhahir didahulukan daripada ta’wil dalam bidang aqidah dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.
Ketentuan-ketentuan di atas jelas menggambarkan bahwa secara tegas aqidah Muhammadiyah bersumber dari Alquran dan Sunnah tanpa interpretasi filosofis seperti yang terdapat dalam aliran-aliran teologi pada umumnya. Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap pemikiran filosofis ini, maka dalam menghadapi ayat-ayat yang berkonotasi mengundang perdebatan teologis dalam pemaknaannya, Muhammadiyah bersikap tawaqquf seperti halnya kaum salaf.
keterbatasan peranan akal dalam soal aqidah Muhammadiyah termasuk kelompok yang memandang kenisbian akal dalam masalah aqidah. Sehingga formulasi posisi akal sebagai berikut “Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai pengertian oleh akal dalam hal kepercayaan, sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungan-Nya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya.
Percaya kepada qadha’ dan qadar. Dalam Muhammdiyah qadha’ dan qadar diyakini sebagai salah satu pokok aqidah yang terakhir dari formulasi rukun imannya, dengan mengikuti formulasi yang diberikan oleh hadis mengenai pengertian Islam, Iman dan Ihsan.
Muhammadiyah melarang anggotanya bersikap taqlid, yaitu sikap mengikuti pemikiran ulama tanpa mempertimbangkan argumentasi logis. Dan sikap keberagaman menumal yang dibenarkan oleh Muhammadiyah adalah ittiba’, yaitu mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasi serta mengikutinya dengan pertimbangan logika. Di samping itu, Muhammadiyah mengembangkan ijtihad sebagai karakteristik utama organisasi ini. Adapun pokok-pokok utama pikiran Muhammadiyah dalam bidang hokum yang dikembangkan oleh Majlis Tarjih antara lain:
Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. Ibadah ada dua macam, yaitu ibadah khusus, yaitu apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu, dan ibadah umum, yaitu segala perbuatan yang dibolehkan oleh Allah dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya. Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan.
Mengingat pentingnya akhlaq dalam kaitannya dengan keimanan seseorang, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam juga dengan tegas menempatkan akhlaq sebagai salah satu sendi dasar sikap keberagamaannya. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah dijelaskan “Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi pada nilai-nilai ciptaan manusia. “Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti sabar, syukur, tawakal, birrul walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul Mahmudah) dan sombong, takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya (Al-Akhlaqul Madzmuham)”.[5]
Mengenai Muhammadiyah menjadikan akhlaq sebagai salah satu garis perjuangannya, hal ini selain secara tegas dinyatakan dalam nash, juga tidak dapat dipisahkan dari akar historis yang melatarbelakangi kelahirannya. Kebodohan, perpecahan di antara sesama orang Islam, melemahnya jiwa santun terhadap dhu’afa’, pernghormatan yang berlebi-lebihan terhadap orang yang dianggap suci dan lain-lain adalah bentuk realisasi tidak tegaknya ajaran akhlaqul karimah. Untuk menghidupkan akhlaq yang islami, maka Muhammadiyah berusaha memperbaiki dasar-dasar ajaran yang sudah lama menjadi keyakinan umat Islam, yaitu dengan menyampaikan ajaran yang benar-benar berdasar pada ajaran Alquran dan Sunnah Maqbulah, membersihkan jiwa dari kesyirikan, sehingga kepatuhan dan ketundukan hanya semata-mata kepada Allah. Usaha tersebut ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat bodoh dan inferoritas berangsur-angsur habis kemudian membina ukhuwah antar sesame muslim yang disemangati oleh Surat Ali Imron ayat 103. Adapun sifat-sifat akhlak Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
Akhlak Keseimbangan. Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di dunia maupun di akhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi secara seimbang, begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap masyarakat, seimbang pula. (H.R. Buhkori).
Muhammadiyah dengan menggariskan Khittahnya sebenarnya ingin menegaskan bahwa politik tidak dapat dihimpitkan dengan dakwah. Demikian pula partai politik tidak dapat disatu-paketkan dengan organisasi dakwah. Penghimpitan dan penyatuan politik dan dakwah sekilas tampak ideal dan akan menghasilkan buah perjuangan yang positif tetapi jangka panjang justru mengandung banyak masalah dan bom waktu konflik keagamaan sekaligus konflik politik.[6]
Bagaimana perkembangan pemikiran yang bersifat ideologis dan tuntutan akan pentingnya ideologi dalam Muhammadiyah itu tumbuh dalam sejarah perjalanan gerakan Islam modernis ini? Sebenarnya, secara tersirat kelahiran Muhammadiyah tahun 1912 memiliki persentuhan dengan kepentingan ideologis. Menurut K.H. M. Djindar Tamimy[7], kelahiran Muhammadiyah bahkan melekat dengan ”ideologi”, yakni ide dan cita-cita tentang Islam yang melekat dalam pemikiran dan spirit gerakan dari Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran keagamaan Kyai Dahlan bahkan oleh Jainuri dalam disertasinya di McGill University disimpulkan sebagai genre “ideologi reformis”[8]. Jika ideologi dikaitkan dengan sistem paham agama, dapat dinyatakan bahwa kelahiran lembaga Tarjih tahun 1927 memiliki aspek ideologis, yakni pandangan keagamaan dalam Muhammadiyah yang menurut Mukti Ali mengandung prinsip kenisbian akal, tidak berorientasi pada orang atau mazhab, dan terbuka atau toleran.[9]
Bagi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang besar bagaimanapun memerlukan ”ideologi”, yakni sikap yang jelas terhadap “Sistem paham dan perjuangannya”, agar gerakannya benar-benar terorganisasi dengan baik dan tidak dikacaukan oleh paham dan kepentingan luar yang mengganggu dan merusak orientasi serta keutuhan Muhammadiyah. Urgensi atau kepentingan ideology bagi anggota Muhammadiyah diperlukan untuk sejumlah hal sebagai berikut: Pertama, ideologi dapat memberi arah dan penjelasan mengenai sistem paham kehidupan yang dicandranya berdasarkan paham agama (Islam) yang dianutnya serta bagaimana seluruh warga Muhammadiyah bertindak berdasarkan sistem paham tersebut. Kedua, dengan ideologi maka Muhammadiyah dapat mengikat solidaritas kolektif (ukhuwah gerakan, dalam makna longgar ashabiyyah sebagaimana konsep Ibn Khaldun), yang berfungsi untuk mempertahankan ikatan ke dalam dan menghadapi tantangan hingga ancaman dari luar. Ketiga, ideologi Muhammadiyah dapat membentuk karakter orang Muhammadiyah secara kolektif sebagaimana tercantum dalam Kepribadian Muhammadiyah serta Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, yang mengandung berbagai sifat orang dan pola tindak yang harus dimiliki dan diimplementasikan dalam kehidupan warga Muhammadiyah. Keempat, melalui ideologi Muhammadiyah menyusun strategi dan langkah-langkah perjuangan sebagaimana Khittah yang selama ini menjadi acuannya, sehingga gerakannya tersistem dan terarah dalam satu sistem gerakan Persyarikatan. Kelima, dengan ideologi maka Muhammadiyah dapat mengorganisasikan dan memobilisasi anggota, kader, dan pimpinnannya dalam satu sistem gerakan untuk melaksanmakan usaha-usaha dan mencapai tujuan dalam barisan yang kokoh, tidak berjalan sendiri-sendiri dan tidak centang perenang.[10]
Ideologi dalam pandangan umum ialah ”sistem keyakinan yang menjelaskan rencana sosial dengan segala kaitannya”[11], sebagai ”suatu sistem ide yang mendasari dan menjelaskan aksi sosial dan politik”[12], suatu ”sistem paham atau seperangkat pemikiran yang menyeluruh yang bercita-cita menjelaskan dunia dan berusaha untuk mengubahnya” (Riberu, 1986: 4). Menurut Shariati[13], ideologi merupakan paham dan teori perjuangan yang dianut kuat oleh kelompok manusia menuju pada cita-cita sosial tertentu dalam kehidupan. Adapun ideologi memiliki unsur-unsur pokok, yaitu: (1) pandangan yang komprehensif tentang manusia, dunia, dan alam semesta dalam kehidupan; (2) rencana penataan sosial-politik berdasarkan paham tersebut; (3) kesadaran dan pencanangan dalam bentuk perjuangan melakukan perubahan-perubahan berdasarkan paham dan rencana dari ideologi tersebut; (4) usaha mengarahkan masyarakat untuk menerima ideologi tersebut yang menuntut loyalitas dan keterlibatan para pengikutnya; dan (5) usaha memobilisasi seluas mungkin para kader dan massa yang akan menjadi pendukung ideologi tersebut.[14]
Menurut Tim Tajdid Muhammadiyah tahun 1968, bahwa lahirnya pemikiran ideologis tersebut selain untuk menghadapi perkembangan kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan yang tumbuh kala itu, sekaligu sebagai ikhtiar ke dalam untuk mengokohkan kembali komitmen dan nilai-nilai dasar gerakan Muhammadiyah yang menurut para ”as-sabiquna al-awwalun” (para perintis Muhammadiyah generasi awal pasca Kyai Dahlan) mulai dirasakan adanya ”gejala atau tanda-tanda kekaburan dalam kalangan Muhammadiyah dari segi idiil-ideologinya”[15]
[2] Kamal Pasha, Musthafa, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Pustaka Pelajar Offet, Jogjakarta, 2000. Di unggah pada 22 Juli 2017
[4] Ukh Tyana, MUKADIMAH ANGGARAN DASAR MUHAMMADIYAH, dalam http://ukhtyan.blogspot.co.id/2013/09/mukadimah-anggaran-dasar-muhammadiyah.html. Di unggah pada 22 Juli 2017
[5] http://guruilmu.wordpress.com/2011/08/15/matan-keyakinan-dan-cita-cita-hidup-muhammadiyah/. Di unggah pada 23 Juli 2017
[8] Disertasi tersebut berjudul The Formation of The Muhammadiyah’s Ideology 1912-1942 yang oleh penulisnya telah dipublikasikan menjadi buku dalam teks aselinya, yang kemudian diterjemahkan oleh Drs. Ahmad Nur Fuad, MA., menjadi sebuah buku berbahasa Indonesia. Lihat: Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal(Surabaya: lpam), tahun 2002.
[14] J. Riberu, dkk. Editor, Menguak Mitos-mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis(Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 5.
[15]kompasko